JAKARTA - Kekerasan terhadap perempuan kian mengkhawatirkan. Data kekerasan pada perempuan yang adapun menunjukkan tren yang kian meningkat. Oleh sebab itu, sejumlah tokoh perempuan dan pemerhati menyuarakan pentingnya menangkal masalah tersebut.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Bintang Puspayoga, memaparkan sejumlah fakta dan data bahwa 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan, non-pasangan, atau keduanya, setidaknya sekali dalam hidupnya.
Serupa dengan kondisi global, dia menyebutkan bahwa 1 dari 3 perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual dalam hidupnya.
"Indonesia yang aman bagi perempuan tidak akan tercipta tanpa dukungan dan sinergi dari seluruh pihak, khususnya media," kata Puspayoga ketika membuka diskusi bertajuk 'Ubah Narasi: Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan', Kamis (25/11/2021).
Puspayoga hadir memberi sambutan sekaligus membuka acara webinar Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism) yang digelar Yayasan Care Peduli dan UN Women itu.
"Dalam hal ini, kami sangat berharap media bisa menjalankan kode etik pemberitaan yang ramah perempuan, serta mulai mengembangkan kebijakan media untuk mendorong pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan,” jelasnya.
Sementara itu, panelis Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang dalam sesi yang dibawakannya memaparkan fakta-fakta terkait kekerasan terhadap perempuan.
Veryanto menyebutkan, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792%, artinya hampir 800% atau 8 kali lipat.
Masih data Komnas Perempuan, Veryanto menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (2010-2019), jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 2.775.042 kasus.
"Artinya 760 kasus per hari atau 31 kasus per jam. Sepanjang 2011-2020, tercatat kekerasan seksual di ranah privat dan komunitas 49.643 kasus," sebutnya.
Veryanto mengatakan, fenomena kekerasan adalah seperti gunung es dimana jumlah yang sebenarnya dapat lebih besar dari yang dilaporkan.
"Dapat diartikan juga bahwa dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman," tukasnya.
Dia juga memaparkan kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi meningkat, dimana berdasarkan CATAHU 2021, pengaduan melalui Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan meningkat, menjadi 2.389 kasus, dengan catatan 2.341 kasus berbasis gender.
Kata dia, dari Januari hingga Oktober 2021, tercatat kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi sebanyak 4.711 kasus. Dalam data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, tercatat kenaikan yang cukup signifikan yakni pengaduan kasus cybercrime 281 kasus (2018 tercatat 97 kasus) atau naik sebanyak 300%.
"Kasus siber terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban," ujarnya seraya menyampaikan desakannya kepada media untuk mengubah narasi pemberitaan yang lebih berperspektif korban.
Menurut Veryanto, untuk mendukung penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, peran media menjadi sangat strategis.
"Kehadiran media dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan akan berkontribusi dalam mendekatkan hak korban atas keadilan, perlindungan dan pemulihan, khususnya melalui pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual," tandasnya.
Panelis lainnya, Produser Film dan Figur Publik Lola Amaria, menilai semua memiliki peran, di luar kekuatan media yang sangat signifikan yang dimulai dari diri sendiri, apa yang dapat dilakukan, kemudian dengan kelompok kecil dan di tempat kerja.
"Contohnya dalam pembuatan film, setiap kru dan artis yang bekerjasama dengan saya harus menyetujui kontrak kerja dimana terdapat pasal yang melindungi hak-hak perlindungan perempuan, termasuk sanksi jika terjadi pelanggaran," kata pekerja seni ini.
Di sisi lain, Devi Asmarani berpandangan bahwa pemberitaan yang baik dan akurat dapat membantu menjadi katalis untuk perubahan positif yang membantu mengakhiri manifestasi dari sistem patriarki termasuk budaya perkosaan.
"Masih banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kinerja media dalam hal ini," kata Devi yang juga Co-founder dan Editor-in-chief Magdelene.co ini.
Dalam acara tersebut, Cresti Fitriana, National Project Officer Communication and Information, UNESCO Jakarta mempresentasikan informasi dan sumber bagi jurnalis dan media profesional dari publikasi "Pelaporan Kekerasan pada Perempuan: Panduan untuk Jurnalis" yang mencakup standar bagi jurnalis dalam peliputan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Menurut Cresti, sekalipun pemberitaan tentang kekerasan berbasis gender telah cukup banyak dan bahkan meningkat terutama sejak pandemi Covid-19, namun hal yang masih kurang diulas adalah keterkaitan antara kekerasan terhadap perempuan dengan seksisme dan ketidaksetaraan gender.
"Yang mana kedua hal ini (seksisme dan ketidaksetaraan gender) menjadi akar masalah masih terjadinya kekerasan terhadap perempuan," tandasnya.
Acara ini digelar atas kerjasama Yayasan CARE Peduli dan UN Women. Yayasan Care Peduli adalah badan kemanusiaan dan pembangunan yang berfokus pada pengurangan kemiskinan dan keadilan sosial, dengan membangun ketangguhan komunitas dan institusi secara holistik. UN Women merupakan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berdedikasi untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Acara ini juga dihadiri oleh UN Women Representative and Liasion to ASEAN Jamshed M. Kazi dan dipandu tokoh perempuan inspratif Elvera N. Makki yang berlangsung interaktif dengan dialog bersama jurnalis dari berbagai media.