Oleh Rifqi Aulia |
KITA tengah berada dalam kepungan teknologi informasi dengan segala kecanggihan dan kemudahan yang ditawarkan. Tentu banyak sisi positifnya, namun tidak sedikit dampak negatifnya apabila kita tak cakap dalam memanfaatkan.
Dengan banjir bah teknologi, peran orangtua akhirnya pelan pelan bergeser dari yang sebelumnya aktif dan positif menjadi pasif dan reaktif. Hal ini, salah satunya, dipengaruhi terutama oleh penggunaan gadget.
Siapapun kini sudah tidak asing lagi dengan istilah gadget. Tak saja digandrungi oleh semua usia, bermacam materi dan fasilitas yang ada di dalamnya bahkan bisa menembus tembok tebal rumah rumah kita. Apapun ada di sana.
Dampaknya kemudian adalah kepada anak anak kita. Peran kepengasuhan kini beralih ke gadget. Gadget mengambil peran itu, dan, sedihnya, karena orangtua tak merasa ada yang salah dengan itu.
Bahkan lebih dari itu, kita tak menerapkan protokol standar keselamatan bagi anak ketika menggunakan gadget. Mereka bisa mempelototi gadget hingga berjam-jam tanpa batas waktu.
Akibatnya kemudian adalah, anak kecil kita bisa saja mengidap sebuah wabah apa yang disebut dengan speechdelay, atau keterlambatan dalam berbicara.
Jika dalam menghadapi pandemi kita disiplin menerapkan protokol kesehatan yang ketat, seharusnya kita juga menerapkan standar keamanan yang sangat memadai ketika anak menggunakan gadget.
Apalagi di masa pandemi hari ini, interaksi anak anak terhadap gadget bisa jadi intensitasnya semakin meningkat seiring dengan pemberlakukan new normal, atau, tepatnya, realitas baru (new reality).
Tak pelak lagi, gadget kini menjadi "menu" konsumsi wajib bagi mereka, apalagi sekarang banyak sekali pekerjaan dan kegiatan yang mengharuskan kita untuk melibatkan peran gadget dalam kehidupan sehari-hari.
Bekerja dari rumah (work from home) tentu akan sangat berbeda dengan bekerja saat di kantor, apalagi ketika sudah memiliki peran menjadi orang tua. Akan ada teriakan-teriakan dari anak, tangisan, dan lain sebagainya.
Kondisi ini tentu saja akan memicu emosi orangtua. Sebagai jalan keluar, biasanya orangtua memilih memberikan gadget kepada anak dengan alasan agar anak tidak rewel dan mengganggu aktivitas mereka.
Ketertarikan anak pada gadget ini tentu saja bukan tanpa alasan. Ada banyak sekali fitur-fitur yang di sediakan secara menarik di dalamnya, seperti beragam permainan online dan berbagai jenis tontonan.
Fitur-fitur tersebut tentu saja tidak akan ditemukan anak pada media lain, seperti majalah, komik, buku, dan sebagainya. Inilah yang menyebabkan anak betah berlama-lama dengan gadget tanpa memperdulikan kesehatan dan lingkungan sekitarnya.
Karena itu, perlu ditekankan bahwa penggunaan gadget sejak dini ini memiliki dampak yang sangat buruk terhadap perkembangan anak, khususnya pada perkembangan bahasanya seperti yang sering kita temukan sekarang yakni kasus anak yang speechdelay.
Menurut peneliti yang juga penulis buku "Child Development", Hurlock Bergner Elizabeth, seorang anak dikatakan terlambat bicara apabila tingkat perkembangan bicara berada di bawah tingkat kualitas perkembangan bicara anak yang umurnya sama yang dapat diketahui dari ketepatan penggunaan kata.
"Apabila pada saat teman sebaya mereka berbicara dengan menggunakan kata-kata, sedangkan si anak terus menggunakan isyarat dan gaya bicara bayi maka anak yang demikian dianggap orang lain terlalu muda untuk diajak bermain," demikian Hurlock (2013: 194-195).
Jika ditilik secara aksiomatik dan merelasikannya dengan berbagai indikator tumbuh kembang anak dewasa ini, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab perlambatan bicara anak karena penggunaan gadget yang melampaui batas normal.
Penggunaan gadget oleh anak tanpa pendampingan dan penyadaran akan membuat anak sukar dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Selain itu, mempengaruhi mentalitasnya yang cepat marah dan sering gusar terhadap segala hal yang sebenarnya sepele.
Kasus speechdelay ini tentu saja tak boleh dianggap sepele, terutama memahami sebab dan akibatnya. Jika kondisi ini dibiarkan akan membawa dampak buruk untuk kehidupan anak selanjutnya.
Berawal dari speechdelay, anak tidak saja akan berpotensi tersisih dari pergaulan karena keterbatasan kemampuan dalam berkomunikasi. Ia juga bisa jadi mendapatkan respon yang negatif dari lingkungan, khususnya lingkungan main anak, entah itu berupa pengasingan, diolok-olok (bullying) dan sejenisnya.
Dampak terburuknya adalah anak kehilangan kepercayaan diri. Ia menjadi pemalu, kurang interaksi, takut dengan orang lain, dan tidak memiliki kecakapan sosial yang baik. Kondisi ini jelas harus sangat dihindari dan kita berharap jangan sampai terjadi.
Oleh karena itu, orang tua harus sangat sadar bahwa mereka merupakan teladan bagi anak-anak mereka. Di sinilah kunci utamanya. Orangtua bukan saja hadir "maujud" bagi anak-anaknya tetapi juga bisa menjadi figur hidup yang benar benar diidolakan.
Segala hal baik harus dimulai sejak dini, dimana orang tua juga harus berusaha menjauhkan jangkauan anak dari gadget sampai pada masanya anak sudah pantas untuk menggunakannya. Dan, tetap dengan pengawasan dan bimbingan orang tua.
Anak suka gadget itu normal karena ia memang menarik dan membuatnya penasaran, apalagi kalau dalam keadaan menyala. Namun, perlu diingat, ketertarikan anak tidak selalu harus dituruti. Persis saat dia tetarik pada lilin, tidak berarti lilin yang menyala itu diberikan kepadanya karena bisa saja membakarnya.
Kondisi dan tantangan kepengasuhan hari ini memang menuntut orangtua tidak saja menjadi pendidik pada semua tempat dan waktu, tetapi juga bisa mengejawantahkan nilai-nilai kependidikan yang proporsional dan profesional.
*)Rifqi Aulia, S.Pd, penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta