Dan, ternyata berwajah jutek itu memang nyata. Hal itu terungkap melalui sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Noldus Information Tecnology, sebuah perusahaan yang mengembangkan perangkat lunak untuk menganalisis wajah para selebriti Hollywood, Amerika Serikat.
Seperti dikutip dari laman resminya, Noldus Consulting, didapati temuan menarik dimana rata-rata ekspresi wajah manusia terdiri dari 97 persen ekspresi wajah netral (alami) dan 3 persen sisanya menunjukkan emosi kecil seperti kesedihan, kebahagian, dan kemarahan.
Ilustrasi/ Metro.co.uk |
Masih dalam riset itu, bahwa orang yang memiliki raut wajah jutek ternyata tingkat emosinya naik hingga dua kali lipat menjadi 6 persen.
Dari hasil pemindaian foto, sebagian besar emosi yang diekspresikan orang yang memiliki wajah jutek adalah ekspresi menghina atau meremehkan.
Hal ini bisa dilihat dari isyarat kecil seperti menyipitkan mata atau menarik salah satu sudut bibit yang dianggap sebagai bentuk dari ekspresi menghina. Ekspresi menghina sendiri diartikan sebagai perasaan bahwa ada sesuatu yang patut dicemooh.
Maka, fisiologi atau bentuk wajahlah yang akhirnya memainkan peran besar dalam membentuk kesan jutek.
Jadi tak heran kalau banyak orang yang dicap jutek memiliki ciri khas mata sipit atau sayu, sudut bibir yang melengkung ke bawah, atau alis yang posisinya agak turun ke arah dalam (hidung).
Penelitian itu dilakukan dengan menggunakan teknologi tinggi sebuah perangkat lunak yang bisa membaca ekspresi manusia, FaceReader.
Alat tersebut bekerja dengan cara memetakan dan menganalisis lebih dari 500 titik di wajah sebagai acuan dari delapan emosi dasar manusia, yaitu sedih, bahagia, marah, takut, kaget, jijik, netral, dan menghina.
Kendati demikian, sampai saat ini para ahli tidak mengetahui jawaban yang pasti mengapa seseorang bisa memiliki muka jutek. Namun, para ahli menduga bahwa faktor genetik dan lingkungan sekitar ikut berpengaruh terhadap pembentukan ekspresi wajah tersebut.
Muka jutek selalu diidentikan dengan kaum wanita karena banyak yang meyakini bahwa jumlah wanita yang berwajah jutek lebih banyak dibanding pria.
Selain itu, kebanyakan artikel anekdot dan jurnal ilmiah juga sering mengisyaratkan bahwa hanya wanitalah yang punya wajah jutek. Padahal, faktanya tidak selalu begitu.
Dari hasil penelitian ini, para peneliti percaya bahwa asumsi yang mengatakan wajah jutek hanya dimiliki wanita pada dasarnya dibangun dari norma-norma sosial yang menuntut wanita untuk selalu tersenyum, bahagia, dan ramah terhadap orang lain, bukan pada fisiologi atau bentuk wajah seseorang.
Jadi ketika perempuan tidak tersenyum atau tidak menunjukkan ekspresi wajah yang menyenangkan, perempuan akan lebih cepat dicap jutek atau judes.
Sedangkan laki-laki tidak terlalu banyak dituntut untuk menebar senyum, sehingga ketika seorang laki-laki menunjukkan ekspresi wajah datar atau agak menghina, tidak ada yang mempermasalahkannya.
Karena itu, kesimpulan dari penelitian ini yaitu seseorang bukan “punya” muka jutek, melainkan masyarakatlah yang memberinya cap demikian akibat ciri khas tertentu pada fisiologi wajahnya.
Jadi sebenarnya orang yang dicap punya muka jutek belum tentu sedang merengut atau bermuka masam. Ia mungkin tidak sedang menunjukkan ekspresi wajah kesal atau jutek, hanya saja orang lain mengartikan bentuk wajahnya seolah sedang menunjukkan emosi negatif.
BRATAYUDHA YUSUF