Dulu, kita tak mengenal banyak isitilah kepengasuhan. Namun sejalan dengan perjalanan zaman, kita pun mulai bersinggungan dengan beragam pandangan seputar kepengasuhan.
Salah satu istilah kepengasuhan yang populer hari ini adalah hysterical parenting. Kendati relatif telah cukup lama menjadi bahan diskusi publik, tak berarti istilah kepengasuhan ini telah benar-benar dipahami oleh orangtua.
Apa Hysterical Parenting?
Tidak, atau belum ditemukan satu defenisi yang pasti tentang apa itu hysterical parenting. Pun demikian, tak ada pihak yang dianggap secara otoritatif telah mengeluarkan semacam diktum tentang masalah ini kecuali beberapa personal yang setidaknya memiliki concern di bidang ini.
Diantara pandangan yang menarik soal ini datang dari Hasanudin Abdurakhman. Doktor bidang fisika terapan ini memiliki minat di bidang ini dan dalam beberapa opininya banyak mengulas tema parenting yang umumnya berangkat dari pengalamannya sebagai seorang ayah.
Dari pemaparan Hasanudin dapat ditarik kesimpulan, hysterical parenting adalah pola kepengasuhan yang dipicu oleh ketakutan dan kecemasan mengenai sesuatu tanpa memiliki landasan pengetahuan yang teguh terhadap sikapnya tersebut. Tidak paham situasi yang dihadapi, dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Dalam masalah pornografi, misalnya. Hasanudin melihat pornografi sangat berbahaya bagi anak. Namun menurutnya, melawan bahaya ini dengan histeria bukanlah solusi.
Malah, dengan histeris ia akan jadi masalah. Kita akan melakukan kontrol yang berlebihan pada anak, yang justru akan menimbulkan reaksi negatif dari mereka.
Dalam kolomnya di Kompas, secara tidak langsung Hasanudin mendekonstruksi praktik hysterical parenting selama ini yang memandang hal-hal yang tak bisa ditolelir seperti pornografi dengan sangat tegas.
Alih-alih menebarkan "kecemasan" dalam melihat realitas tersebut, dalam menyikapi masalah pornografi Hasanudin mengajak orangtua untuk mengenali dulu definisi pornografi itu sendiri.
Kata dia, jangan sampai kita sudah menuduh anak-anak kita menonton konten porno hanya karena mereka menonton video clip girl band.
Menurutnya, anak-anak remaja laki-laki tertarik melihat tubuh perempuan itu tanda bahwa mereka tumbuh wajar. Kita tidak perlu bereaksi berlebihan terhadap hal yang wajar itu.
"Lakukan kontrol terhadap aktivitas media anak-anak. Apa yang mereka tonton di TV dan Youtube, apa yang mereka lihat di internet. Tapi jangan sampai jadi seperti polisi moral, yang menimbulkan sikap antipati. Beri mereka kepercayaan, tapi tetap pantau," tulisnya.
Terhadap fenomena histeria ini, Hasanudin mengajak orangtua untuk mengenali hal-hal dasar soal internet. orangtua harus punya pengetahuan soal history, sehingga bisa memantau apa yang dilihat anak-anak.
Yang tak kalah penting menuru dia adalah membatasi waktu mereka memakai internet. Dampingi saat mereka memakainya. Biasakan berkumpul dengan mereka.
Hal-hal itu menurut Hasanudin jauh lebih penting ketimbang menjadi histeris. Histeria terjadi saat kita tidak paham situasi yang kita hadapi, dan kita tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Tapi meskipun di satu sisi pandangan Hasanudin tentang hysterical parenting ada benarnya terutama ajakannya untuk membangun kesadaran diri orangtua, namun di sisi yang lain tetap terbuka untuk didialogkan lebih lanjut.
Tidak sedikit pihak yang akan menilai pandangan Hasanudin tersebut terlalu liniar dan nampak menyerderhanakan masalah yang sebetulnya sangat kompleks.
Dalam diskursus agama, Islam misalnya, masalah-masasalah seperti pornografi atau ketelanjangan dipandang sangat prinsip sehingga perlu diutarakan dengan tegas dan sangat gamblang.
Hal itu disampaikan seperti menakutkan atau menciptakan histeria, tapi sebenarnya tidak. Begitulah sejatinya pesan itu harus disampaikan agar tidak memunculkan sikap permisif atas kehadirannya di masyarakat.
Terlepas dari itu semua, sebagai orangtua, selalu ada ruang untuk saling menemukan titik temu antar beragam perspektif kepengasuhan tersebut meskipun tentu tak harus merusak tatanan hal-hal fundamental.
NURSELINA