Apalagi, televisi bisa dibilang sangat simpel dan bisa dinikmati bersama dengan anggota keluarga kapan saja.
Tapi, apa jadinya jika kotak kaca yang dianggap menghibur itu ternyata menyimpan bahaya yang mengancam bagi anak-anak?
Bagaimana mungkin? Tapi faktanya, tidak sedikit program di televisi menjadi momok mengkhawatirkan sekaligus perlu menjadi perhatian serius para orangtua.
Melihat dampak dari tayangan yang disebut menghibur itu nyatanya umumnya jauh dari nilai moral dan akhlak yang baik.
Alih-alih mengedukasi anak-anak atau generasi muda, justru menjamurnya sinetron atau tayangan-tayangan televisi banyak mengumbar kebiasaan buruk dan contoh tidak baik.
Lihat saja. Cuplikan yang ditayangkan setiap hari itu tak pernah jauh dari perkara pacaran, pertengkaran, bullying, gaya hidup bebas dan khayalan.
Adapun nilai edukasinya bahkan tak berbanding lurus. Parahnya, banyak adegan tak pantas yang tak sungkan-sungkan diperagakan oleh para remaja ABG.
Yang tak kalah bikin miris, menjamurnya berbagai acara ajang akademi dan semacamnya yang menghiasi layar televisi. Berbagai kategori penghargaan alias Award lalu dibuat semata untuk tujuan-tujuan komersil segelintir pihak.
Padahal, tayangan absurd seperti itu kian membuat pola pikir anak-anak dan generasi remaja kian dijejali budaya hedonisme dan hura-hura.
Patut disadari, sejatinya apa yang anak lihat, dengar dan rasakan akan terekam dalam ingatan, sekecil dan sesepele apapun hal tersebut.
Ibarat bom waktu, tanpa sadar, tiba-tiba mereka bisa saja mempraktikkan apa yang pernah ditonton atau didengar setiap hari tersebut.
Anak yang sehari-harinya selalu mendapat perlakuan kasar atau melihat tindak kekerasan, misalnya. Lambat laun ia akan berperilaku kasar karena mencontoh sikap orang di sekitarnya.
Bayangkan jika setiap hari anak-anak dicekoki program tak beredukasi, menonton sinetron cinta-cintaan yang miskin edukasi.
Lambat laun kebiasaan menonton tersebut akan membangkitkan rasa penasaran untuk mencoba pengalaman tersebut. Lalu pelan pelan tumbuh dan semakin bersemi sejalan dengan rutinnya mereka menyaksikan sinetron tersebut.
Kian lama semakin banyak fantasi yang hinggap di pikiran dan berusaha direalisasikan di dunia nyata.
Jika tidak bisa dilakukan secara terang-terangan karena terbentur adat yang diusung di lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat maka mereka akan melakukan secara sembunyi-sembunyi.
Ini baru dampak dari diaroma hubungan salah kaprah yang mereka pahami dari tuntunan televisi. Belum lagi dari segi gaya hidup bebas, saling mengintimidasi sesama teman dan lain-lainnya.
Jika semua hal tersebut dicontoh oleh anak-anak akan menjadi seperti apa isi kepala anak-anak tersebut.
Manusia ibarat wadah, jika terus menerus diisi hal-hal buruk maka kebaikan sukar memiliki tempat.
Jika anak terus dibiarkan mendapatkan tontonan negatif, maka nilai-nilai kebaikan yang ingin diajarkan kepadanya susah diterima.
Sebab, baik dan buruk tak akan pernah bersatu, porsi mana yang lebih banyak maka itulah yang akan mendominasi.
Saat kita sibuk mengkampanyekan stop bullying, stop narkoba, stop gaya hidup tidak sehat, di waktu yang sama di rumah anak-anak masih dicekoki tontonan televisi yang tak memiliki nilai moral seolah kita sedang berteriak di dalam gelas. Siapa yang akan dapat mendengar?.
Perlindungan moral anak sejatinya harus dilindungi luar dan dalam. Dari luar yakni lingkungan yang mendukung dirinya belajar bagaimana menjadi individu yang berakhlak baik.
Dan, perlindungan dari dalam, yakni perlunya pemahaman agama yang cukup dan rasa takut pada tuhan, sehingga sebelum melakukan sesuatu terlintas di pikiran mereka, apakah ini benar atau salah?.
Tetapi sebagai orangtua seeloknya memang tak segera panik karena keterjutan atas realita mencemaskan tersebut.
Kita boleh saja histeris melihat beratnya tantangan kepengasuhan anak di era sekarang ini. Namun, kita harus rasional dan mengambil langkah-langkah pencegahan dan tetap proporsional.
Anak adalah aset. Tak hanya untuk orangtuanya namun juga untuk agama dan bangsa ini. Jangan biarkan aset berharga tersebut teracuni benih-benih negatif, terlumuri contoh-contoh keburukan.
Jangan lupa, apa yang mereka anak-anak dapatkan hari ini akan berdampak pada karakter dan pola pikir mereka ke depannya.*
BAYYINAH
Penulis adalah pegiat komunitas PENA, mahasiswi LIPIA Jakarta