SIAPA yang menabung dia akan kaya, siapa yang rajin dia akan terampil, dan siapa yang bersiaga dia akan bahagia.
Menghadapi situasi dunia yang dikepung budaya Barat, kita sebagai generasi bangsa dituntut untuk membangun dan memiliki budaya konstruktif yang dapat mengantarkan bangsa ini tetap ada dan jaya. Hal tersebut tidak bisa ditawar-tawar lagi, jika kita ingin negeri ini tetap memiliki arti.
Pertanyaannya, kita harus membangun budaya apa? Apa budaya festival kebudayaan, apa budaya musik, apa budaya santai, atau apa budaya bebas ala Barat? Tentu bukan itu semua jawabannya.
Sebelum menjawabnya, saya ingin mengajak kita melihat tradisi remaja dan anak muda negeri ini. Coba kita lihat dengan jujur, apa yang paling menjadi obsesi kebanyakan mereka saat ini. Jawabannya mungkin, kita duga keras, mereka kebelet pacaran. Selanjutnya, apa yang paling disukai remaja sekarang; musik, film dan gadget!
Disadari atau tidak, kesukaanlah yang kelak akan menjadi budaya suatu bangsa. Jadi, jika generasi muda sekarang suka pacaran, denger musik keluh, penyesalan, kegalauan dan sebagainya, maka tiga dekade mendatang kita khawatir bangsa ini akan menjadi bangsa yang sakit.
Bangsa yang tak mampu merespon perubahan. Sebaliknya selalu menjadi korban peradaban dan perubahan. Kesukaannya hanya satu dan itu pun sangat dibanggakan. Apalagi kalau bukan meniru bangsa lain dan mencomooh negeri sendiri.
Remaja kita, masihkah ada yang gemar pergi ke perpustakaan, mendirikan sholat di masjid, gemar melakukan eksperimen, atau percaya diri dengan produk dalam negeri? Jawabannya ada, tetapi tidak banyak.
Selebihnya hidup tanpa arah dan tujuan, asal senang beres segala urusan. Itulah pikiran banyak remaja zaman sekarang.
Maka dari itu jangan heran kalau budaya bangsa kita kian hari kian hilang. Dan jika dibiarkan, maka ini pertanda bangsa kita akan “lenyap dari peredaran”. Bagaimana tidak, kalau semua sudah tidak yakin dengan diri sendiri.
Hal ini harus diwaspadai, karena jika tidak, bukan tidak mungkin kelak anak-anak negeri ini akan berani menegasikan nilai, norma, agama bahkan harga dan jati diri sendiri?
Inferiorisme Akut
Kalau kita perhatikan siklus perjalanan negeri kita hari ini, boleh dikata bangsa kita masih jauh untuk disebut luhur berbudaya. Dalam pengertian sudah terlalu banyak budaya asing yang dibudayakan anak-anak negeri sendiri.
Bahkan beberapa budaya sangat sulit dimengerti, terutama dalam bidang musik. Masih ingat kan bagaimana orang Indonesia berjubel ketika artis India konser di Sentul, atau Lady Gaga yang mau konser di Jakarta?
Orang sepertinya bangga sekali hadir dalam konser tersebut. Dan, media sibuk mencari artis yang hadir dalam konser itu. Publik pun sebagian terpengaruh, meskipun secara empiris, mungkin tak ada manfaat apapun dari menonton konser-konser musik seperti itu.
Disinilah anehnya, orang rela berjubel bahkan antri dari dini hari untuk bisa menikmati konser. Khusus musik India, coba sekali-kali kita ajak tanya mereka yang suka dengan musik dari tanah Hindustan itu?
Apa Anda mengerti dengan isi syair musik yang Anda sukai ini, jawabnya pasti lebih banyak yang mengatakan tidak tahu. Tetapi kok suka, ya suka aja. Jadi, tidak punya dasar rasional.
Inilah inferiorisme, dimana kesukaan seringkali tidak memiliki dasar argumen sama sekali. Asalkan itu dari negeri orang, semuanya dianggap bagus dan perlu. Meskipun kadangkala justru menipu dan membelenggu.
Dampak Negatif
Dampak dari sikap inferior adalah tidak adanya self confidence (percaya diri). Hal ini tentu akan sangat merugikan, karena lama kelamaan bangsa kita hanya akan menjadi bangsa imitator. Padahal, bicara budaya, Indonesia sangat kaya.
Secara psikologis, self confidence sangat diperlukan untuk menumbuhkan spirit, kreativitas, inovasi dan produktivitas.
Tanpa self confidence, mustahil bangsa ini akan maju dan jaya. Hal ini tidak perlu kita bahas panjang lebar, cukup kita lihat dari apa yang dibangun oleh Jepang dalam konteks modern atau Sejarah Peradaban Islam dalam konteks yang lebih sempurna.
Jepang bisa maju menguasai teknologi otomotif dan elektro dunia bukan tanpa rencana. Sejak abad 19 penduduk Negeri Sakura itu telah berusaha membangun self confidence yang kuat untuk membangun budaya ilmu.
Nama pemuda Kinjiro Ninomiya dan Yukichi Fukuzawa menjadi inspirator masyarakat Jepang dalam membangun budaya.
Dalam bukunya yang berjudul Galakkan Pelajaran pada tahun 1882 yang terjual 600 ribu naskah itu, Fukuzawa menyatakan:
“Manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya atau miskin, tetapi dilahirkan sama dengan yang lain. Sesiapa yang gigih belajar dan menguasai ilmu dengan baik akan menjadi mulia dan kaya, tetapi mereka yang jahil akan menjadi papa dan hina”.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan bangsa Indonesia. Bayangkan saja, setengah abad lebih merdeka tetapi kita tidak punya teknologi sendiri. Dalam konteks hukum, kita juga masih mengadopsi hukum Belanda. Demikian pula dalam hal pendidikan, teori-teori basi dari Barat kita banggakan di dalam negeri.
Kewajiban Kita
Dalam situasi seperti itu, apa yang harus dilakukan oleh pelajar dan pemuda bangsa tidak lain adalah berupaya membangun budaya, tepatnya budaya ilmu. Bukan budaya yang hanya menarik ditonton tapi tidak membawa maslahat bagi masa depan bangsa.
Cendekiawan Muslim asal negeri Jiran, Prof. Dr. Wan Moh Nor Wan Daud memberikan penjelasan dalam bukunya Budaya Ilmu, bahwa, bangsa yang berjaya di dunia ini adalah bangsa yang memiliki budaya ilmu.
Jepang hanya satu contoh, bagaimana bangsa kecil mampu bangkit dengan menjadikan budaya ilmu sebagai asasnya. Bom atom pun tak mampu melenyapkan negeri ini. Sebaliknya, bom itu justru memantik spirit Jepang untuk bangkit memimpin dunia.
Hal itu pula yang dilakukan oleh Yunani pada zaman kuno dahulu. Robert M. Huchins, mantan Presiden dan Konselor Universitas Chicago, Amerika Serikat, pernah mengeluarkan kalimat tentang tradisi ilmu di negeri berjuluk Ethniki tersebut.
Huchins menjelaskan, “Di Athens pendidikan merupakan matlamat utama masyarakat. Kota raya mendidik manusia. Manusia di Athens dididik oleh budaya, oleh paideia”.
Sekalipun Yunani hanya negeri kecil yang tidak memiliki tentara yang kuat, tetapi sejarah telah membuktikan, peradaban Yunani berpengaruh besar terhadap masyarakat Romawi dan kemudian juga peradaban Barat hingga sekarang. Sayangnya, budaya ilmu di Yunani tidak diiringi dengan akhlak.
Melihat bukti di atas, maka tidak ada jawaban lain, tugas ktia adalah membangun budaya ilmu. Bukan budaya musik yang hanya mengumbar percintaan, penyesalan dan kegalauan, apalagi sinetron dan fashion!
Bangsa yang maju bukan bangsa yang generasi mudanya suka meniru-niru. Tetapi bangsa yang maju adalah bangsa yang generasi mudanya berilmu plus berakhlak.
Sebagai renungan mari kita perhatikan logika sederhana Buya Hamka dalam bukunya Pribadi. Suatu logika yang menuntun kita semua untuk kembali membangun budaya ilmu yang otentik, asli milik bangsa Indonesia, yang dengan itu negeri ini kaya dengan kekuatan moral.
“Dua puluh ekor kerbau pedati yang sama gemuknya dan sama kuatnya, sama pula kepandaiannya menghela pedati, tentu harganya tidak berlebih kurang.
Tetapi 20 orang manusia yang sama tingginya, sama kuatnya, belum tentu sama ‘harganya’, sebab bagi kerbau tubuhnya yang berharga. Bagi manusia, pribadinya.
Berilmu saja, walaupun bagaimana ahlinya dalam suatu jurusan, belum tentu berharga, belum tentu beroleh kekayaan dalam hidup, kalau sekiranya bahan pribadinya yang lain tidak lengkap, tidak kuat, terutama budi dan akhlak”.*
______
*) IMAM NAWAWI, penulis adalah kolumnis. Ikuti juga cuitannya di @abuilmia
*) IMAM NAWAWI, penulis adalah kolumnis. Ikuti juga cuitannya di @abuilmia