SUATU hari. Seorang anak muda bertanya kepada sahabat karibnya yang dilihatnya terburu-buru meninggalkan ruang kerjanya, “Mau ke mana, bro?”, sembari melempar senyum khasnya.
“Cabut dulu, nih. Ada instruksi dari boss”. Dengan nada bercanda, sang kolega kembali bertanya, “Emang kapan nanamnya, kok sudah dicabut,” keduanya pun tertawa bersama.
Dalam dunia remaja atau mungkin dunia kita, kata “cabut” merupakan ungkapan yang dirasa nyaman untuk menyampaikan pesan bahwa dirinya hendak meninggalkan suatu tempat atau kegiatan.
Akan tetapi, karena kata “cabut” itu identik dengan pohon singkong yang buahnya bisa dipanen pada usia minimal 4 atau 5 bulan, maka ungkapan “cabut” sering ditanggapi secara santai, “Emang kapan nanamnya, kok sudah mau cabut!”
Terinspirasi dari bahasa sehari-hari yang santai itu, saya melihat bahwa, pertanyaan “Emang kapan nanamnya” itu sangat penting untuk dipahami, digali, dimaknai, dan diinternalisasikan dalam cara berpikir, bertindak, dan berekspresi. Karena pada dasarnya, semua pohon yang berbuah harus melalui proses penanaman terlebih dahulu.
Berarti, jika manusia ingin memiliki buah (prestasi) mau tidak mau harus menanam dulu. Sayangnya, pemahaman terhadap perlunya menanam ini tidak begitu diperhatikan oleh umumnya kita di negeri ini.
Tidak saja mereka yang remaja, tetapi juga orangtua, bahkan para elit negara. Rata-rata manusia sekarang berpikir secara instan.
Padahal, yang namanya prestasi tidak akan mewujud kecuali melalui proses belajar tak kenal lelah, semangat yang membaja, kerja keras, serta keyakinan yang tak pernah goyah. Itu pun memerlukan waktu yang tidak sebentar.
Meskipun begitu, upaya untuk menanam harus dimulai sedini mungkin, dari diri sendiri, dan saat ini juga. Akan sangat baik, jika proses penanaman itu tidak saja dilakukan anak kecil, remaja atau generasi muda, tetapi juga didukung, difasilitasi dan diperjuangkan oleh para orangtua.
Pertanyaanya, menanam apa atau apa yang harus ditanam? Apalagi kalau bukan menanamkan impian mulia kepada anak dan generasi muda bangsa!
Semua Bermula dari Impian
“Tidak ada yang terjadi, kecuali diawali dari sebuah mimpi,” ungkapan tersebut memang bisa dibuktikan. Semua memang bermula dari cita-cita. Berawal dari mimpi besar.
Dahulu, di zaman kuno, tak satu pun manusia bermimpi bisa terbang layaknya burung, atau menyelam layaknya ikan. Tetapi kini, itu semua sudah bukan sesuatu yang aneh lagi, manusia bisa melakukan “apa saja” dengan kemampuan teknologinya.
Tidak usah terlalu jauh ke sana, tiga dekade lalu, mungkin orang tidak terbayang bagaimana bisa bekerja sambil berjalan apalagi harus berhubungan dengan komputer dan internet. Tetapi sekarang, orang bisa melakukan aktivitas pekerjaan dengan internet di manapun dan kapan pun tanpa harus menatap layar komputer.
Mengapa semua itu terjadi, jelas karena ada impian. Arsitek kawakan Ridwan Kamil lebih senang menyebutnya dengan khayalan. Menurut dosen ITB itu, dirinya mampu mewujudkan banyak karya yang unik dan fenomenal dikarenakan hobinya yang suka mengkhayal.
Artinya, milikilah impian, karena dengan impian itu seseorang akan menjadi sosok baru yang tak terbayangkan seluruh manusia sebelumnya.
Berkaca Pada Prestasi Al-Fatih
Kalangan remaja, mungkin tidak banyak yang mengenal Muhammad Al-Fatih. Sosok pemuda luar biasa, cerdas, santun, berakhlak, dan sangat pemberani.
Sosoknya masih muda, namun kecerdasan intelektual dan spiritualnya membuatnya mampu tampil sebagai panglima militer. Ia memimpin banyak bala tentara dan para perwira yang berpengalaman.
Di tanganya-lah Konstantinopel yang tak tergoyahkan selama lebih dari 800 tahun menjadi tunduk dan takluk. Ia menjadi sosok pemuda yang sangat inspiratif hingga akhir zaman. Kecerdasannya, ibadahnya, dan kepiawaiannya dalam memimpin pasukan menjadi satu prestasi yang sangat mengagumkan.
Semua kepala pasti mengakui bahwa Muhammad Al-Fatih adalah manusia pilihan. Tetapi benarkah pilihan itu selalu hadir tanpa upaya? Ternyata tidak, Al-Fatih adalah hasil dari komitmen dan kesabaran para guru dalam mendidik dan membinanya.
Ketika kecil, Al-Fatih tidak saja diajarkan berbagai macam disiplin ilmu. Sering sekali Al-Fatih diajak untuk melihat alam sekitar, utamanya Benteng Konstantinopel yang sangat tangguh dan kokoh.
Gurunya berkata, “Lihatlah di seberang sana, Rasulullah pernah bersabda bahwa benteng itu akan ditaklukkan seorang pemimpin yang merupakan sebaik-baiknya pemimpin dan tentaranya adalah sebaik-baiknya tentara. Saya percaya, pemimpin itu adalah kamu”.
Artinya, sejak kecil Al-Fatih telah diajak untuk menanam impian. Tidak ada yang tau secara pasti bahwa Al-Fatih adalah benar-benar orang yang dijanjikan oleh Rasulullah. Tetapi jika tidak diyakini, maka apapun tak akan terwujud.
Kalimat sang guru itu pun senantiasa dikumandangkan dalam diri Al-Fatih kecil. Sampai benar-benar alam bawah sadar Al-Fatih meyakini semangat dari guru-gurunya itu. Namun demikian, memang bukan perkara mudah menaklukkan Konstantinopel.
Kota tua itu dilindungi benteng dengan dinding setebal 10 meter. Di sekeliling benteng masih terdapat parit selebar 7 meter. Jika diserang lewat Barat maka ada benteng dua lapis. Dari Selatan ada pelaut Genoa yang kuat dan berpengalaman.
Sementara masuk dari arah Timur nyaris tidak mungkin karena armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang dilindungi rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat. Mustahil memang secara rasio, tetapi bisa menjadi rasional dengan keyakinan impian.
Singkat kisah, Al-Fatih memerintahkan pasukannya menarik dan menggotong kapal mereka melalui jalan darat, melewati pegunungan. Dalam semalam 70 kapal laut pindah dari selat Bosphorus menuju selat Tanduk, untuk kemudian melancarkan serangan tidak terduga yang berakhir dengan kemenangan yang dinanti berabad-abad.
Itulah fakta empiris bahwa menanamkan impian sejak kecil kepada anak-anak bisa mengantarkan mereka pada prestasi besar yang tak terduga oleh siapapun.
Mendidik dengan Optimisme
Dalam catatan resonansinya, Asma Nadia, cerpenis yang hadir setiap Sabtu di Harian Republika (2/2) itu memahami bahwa ada banyak catatan di balik kesuksesan Al-Fatih tersebut.
Selain impian yang ditanamkan sejak kecil, pola asuh yang diterapkan sang ayah berpengaruh kuat sehingga tertanam dalam dirinya tekad untuk menaklukkan benteng yang menjadi kunci penyebaran Islam di Eropa timur.
Sang ayah mencarikan guru terbaik dan memberi kekuasaan sang guru untuk mendispilinkan putra mahkota, bahkan otoritas untuk memukul jika melawan. Ketika sang guru menyampaikan izin memukul dari Sang Sultan, Fatih kecil menertawakan, namun saat itu juga sang guru memukulnya.
Sejak itu Al-Fatih tahu, ia harus disipilin, menghormati orang dan menjaga sikap, sekalipun ayahnya seorang raja.
Pendidikan ini membuat Fatih muda menguasi banyak ilmu. Ia menguasai enam bahasa, ilmu militer, pemerintahan, matematika, pengetahuan alam, dan berbagai ilmu lain. Saat menjabat sultan di usia 19 tahun, ia sudah menjadi pribadi matang, dan di usia 21 tahun ia menjalankan misi pembebasan Konstantinopel yang berhasil gemilang.
Kekuatan lain adalah iman. Kedekatan sang sultan dan pasukannya kepada Allah merupakan kunci keberhasilan. Ketika mereka mengangkat kapal satu persatu, seluruh pasukan bertakbir dan takbir mereka menggema sampai digambarkan seperti suara langit akan runtuh. Ada kisah menarik ketika pasukan akhirnya berhasil menguasai Konstantinopel.
Pendidikan yang tepat oleh orangtua dan guru akan mendorong jiwa anak-anak pada optimisme tinggi dan upaya tak kenal lelah. Di samping itu, anak-anak akan membentuk pola pikirnya sedemikian rupa, sehingga ia mengerti bagaimana mengatur diri, termasuk mengatur cara berpikirnya.
So, mungkin inilah alasan dari ungkapan Filosof Kuno Yunani, Plato, ia mengatakan, “Kuasai pikiranmu, kamu akan dapat melakukan apa pun dengan pikiran tersebut”. Sementara itu dalam bahasa JP. Vaswani, “Kemenangan adalah milik pikiran, ubahlah pikiran, Anda akan menguasai kehidupan”.
Dengan kata lain, menanamkan impian berarti kita sedang menyemai cara berpikir positif, optimis dan solutif kepada anak-anak, remaja dan generasi muda untuk menghadapi tantangan zamannya.
Jadi, jangan terjebak pada apapun yang membuat akal kita tidak bekerja. Tetapi fokuslah pada segala hal yang memungkinkan kekuatan akal dapat dibuktikan, yang akan meledak dengan kekokohan iman dan kekuatan impian. Jadi, mari kita menanam impian itu sekarang juga!*
______
*) IMAM NAWAWI, penulis adalah kolumnis. Ikuti juga cuitannya di @abuilmia
*) IMAM NAWAWI, penulis adalah kolumnis. Ikuti juga cuitannya di @abuilmia