“ADNIN, apa target puasamu tahun ini,” tanya ibu kepada putra keduanya yang pasca lebaran akan mengikuti lomba sains Fisika di Eropa. |
“Mamah, Adnin pengen jadi yang terbaik dalam ajang sains di Eropa. Adnin ingin buktikan bahwa orang Indonesia juga bisa menjadi juara dunia,” ujar si anak penuh semangat.
“Emang kamu sudah siap dengan semua itu,” kejar sang ibu. “Siap, mah. Adnin akan belajar lebih keras, berlatih lebih keras, dan konsultasi lebih banyak dengan para pembimbing. Tidak itu saja mah, melalui puasa ini Adnin akan berusaha beribadah dengan sebaik-baiknya agar Allah berikan kemudahan untuk mencapai target Adnin tahun ini,” jawab Adnin penuh semangat.
"Pasti, nak. Kan, umat Islam banyak meraih kegemilangan justru pada saat bulan puasa. Jika dulu bisa kenapa tidak Adnin nanti berhasil, ya, kan?" jawab sang mamah sambil memeluk buah hatinya itu.
**********
Puasa memang sudah seharusnya melahirkan energi positif yang dahsyat. Energi yang mendorong setiap jiwa memiliki optimisme yang diikuti dengan perencanaan kerja serta schedulle harian yang memungkinkan diri mampu mencapai target utama yang telah ditetapkan. Dengan tetap memprioritaskan agenda ibadah sebagai yang paling utama dari yang lainnya. Itulah aplikasi takwa.
Puasa untuk takwa siapapun pasti mengerti. Tetapi apa sebenarnya takwa itu, masih banyak yang belum mengerti bagaimana mewujudkannya. Terutama pada sebagian besar pemangku kebijakan di negeri ini. Idealnya Bulan Ramadhan ada peningkatan prestasi kinerja bagi semua lembaga pemerintahan.
Bagi penegak hukum puasa semestinya melahirkan keberanian untuk menumpas kejahatan, ketidakadilan, dan pencurian (baca: korupsi). Jika tidak, maka puasa yang diamalkannya belum sampai pada target utama puasa itu sendiri.
Demikian pula bagi para pejabat. Puasa hendaknya menjadikan mereka lebih berani mewujudkan birokrasi yang sehat, birokrasi yang pro-rakyat, dan tentunya siap menjadi idola rakyat. Bukan seperti sekarang yang banyak pejabat di tanah air tidak dipercayai oleh mayoritas rakyat.
Jika berlalunya Ramadhan tahun ini tidak menghasilkan perubahan signifikan dalam pemerintahan, maka sebenarnya puasa itu untuk apa? Jangan sampai kita menjadi manusia yang tidak jelas. Fisik mengakui menyembah Tuhan tapi akal dan pikiran tunduk pada bisikan-bisikan setan! Akhirnya negara berantakan, rakyat pengangguran, dan kejahatan menjadi komandan.
Kejujuran
Satu dimensi takwa yang paling kuat adalah kejujuran. Berperilaku jujur bukan perkara mudah. Jujur tidak cukup hanya dengan tahu, mengerti, melihat, atau punya bukti. Jujur perlu keberanian dan keberanian itu adalah anak kandung sifat takwa.
Manakala ketakwaan seseorang rendah maka sebanyak apapun bukti di depan mata, kesalahan tetap akan dibela dan kebenaran akan dipenjarakan. Bahkan ada banyak kasus yang tidak segera dituntaskan.
Di Kalimantan Timur misalnya, laman Tribun Kaltim beberapa waktu lalu memberitakan bahwa Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Andi Nirwanto meminta kepada tim Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Kaltim segera menuntaskan perkara-perkara dugaan korupsi tahap penyidikan. Kasus tunggakan korupsi di Kaltim memang tak bisa disebut secerca, sejak tahun 2008 hingga 2011 ada sekitar 20 perkara.
Bayangkan, ada rentang waktu tiga tahun di sana, tapi kasus tak lekas dirampungkan. Ini menandakan bahwa tidak ada keberanian untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian. Boleh jadi banyak faktor, tetapi dari sisi mentalitas boleh diasumsikan hal ini lebih karena rendahnya kejujuran akibat tumpulnya keberanian dan terpenjaranya sifat takwa.
Ramadhan adalah momentum menumbuhkan kembali ketakwaan kita agar segar kembali keberanian dan bergeraklah kejujuran. Kejujuran itu sangat diperlukan apabila benar-benar ingin melihat bangsa ini diliputi kemakmuran, keadilan, dan kemajuan. Tanpa kejujuran sirnalah semua normativitas konstitusi negara.
Kebahagiaan
Mengapa orang tidak berani jujur, jawabnya sederhana karena takut sengsara atau tidak bahagia. Sejarah memang membuktikan bahwa mereka yang jujur kerap diperlakukan tidak adil bahkan ada yang harus meninggal dunia karena mempertahankan kejujuran.
Dalam sejarah Islam ada kisah Nabi Zakaria yang harus rela digergaji oleh Bani Israel karena mengajak kaumnya pada kebenaran ajaran Tauhid. Begitu pula dengan ayah dan ibu Amar bin Yaser yang meninggal dunia setelah disiksa secara sadis oleh pembesar Quraisy karena mengikuti seruan Rasulullah saw.
Hawa nafsu itu paling tidak mau dengan yang namanya susah payah. Akhirnya mereka yang jiwa dan akalnya dipimpin hawa nafsu menganggap bahwa kebahagiaan itu adalah kehidupan dunia bukan yang lain. Akhirnya, sekuat tenaga mereka melakukan berbagai cara untuk mendapat kehidupan dunia. Itulah mengapa sifat seperti ini identik dengan mereka yang jauh dari agama.
Asumsi seperti itu jelas tidak benar karena tidak berdasar pada akal dan fakta kehidupan. Kebahagiaan jelas berbeda dengan kesenangan. Senang itu bersifat jasadiah sedangkan bahagia ia meliputi keduanya.
Orang melakukan korupsi itu karena ada asumsi bahwa apabila dirinya punya uang banyak maka ia akan hidup senang. Faktanya apa, siang malam ia kebingungan. Bagaimana kalau ketangkap KPK, bagaimana kalau dipenjara dan beragam kekhawatiran lainnya. Uang bertambah tapi batin tersiksa. Apa seperti ini bahagia?.
Sama seperti Fir’aun yang irasional dan tidak manusiawi. Hanya karena takut ada generasi muda yang akan menjatuhkan kekuasaannya ia langsung membunuh seluruh bayi laki-laki di negerinya. Akibatnya apa, siang malam ia gelisah jangan-jangan bayi yang special itu masih ada. Terbukti, tetap ada. Sebab Tuhan Maha Kuasa.
Manusia masuk surga atau neraka itu memang karena akalnya. Siapa yang akalnya tunduk pada kebenaran Tuhan maka surga baginya. Sedangkan siapa yang mengingkari kebenaran Tuhan neraka alamatnya.
Kalau kita melihat sejarah perjuangan para Nabi mungkin tidak menarik. Karena identik dengan kesusahan, kesengsaraan, dan ketidaknyamanan. Tetapi apa benar semua yang terihat tidak mengenakkan di dunia itu benar-benar menyengsarakan. Cobalah datangi orang-orang sukses yang kini hidup nyaman, apakah mereka akan bercerita tentang kenyamanannya atau kesusahannya?
Dahlan Iskan saja banyak menerbitkan buku dan membagi inspirasi bukan pada saat ia menjabat sebagai Meneg BUMN. Tetapi masa kecilnya yang penuh ketiadaan, kesengsaraan dan perjuangan.
Jika demikian mengapa kita masih takut untuk berbuat jujur. Boleh jadi hari ini orang membenci diri kita, menyengsarakan diri kita, tapi waktu yang bergulir akan membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah. Tengok Nabi Yusuf yang justru menjadi menteri setelah dipenjara.
Jadi, mari kita gunakan akal sehat. Tuhan berfirman bahwa berpuasalah kamu agar bisa menjadi orang-orang yang bertakwa. Artinya, secara tidak langsung Tuhan mengatakan kepada kita, pakai akalmu agar engkau bahagia. Hati-hati jangan salah jalan. Oleh karena itu ikutilah perintahku bukan yang lain.
Semoga Ramadhan tahun ini benar-benar melahirkan keberanian dalam diri ini untuk lebih berani menapaki kebenaran. Bukan sebaliknya, justru percaya diri di atas kesalahan, kebathilan dan kesesatan. Ingat akal sehatmu akan dimintai pertanggungjawaban.
Imam Nawawi