“JIKA berenang tidak bisa mengapa engkau ingin menyelam! Jika kamu sakit kenapa tidak berobat! Jika kakimu terkilir mengapa ingin berlari! Sabarlah, lakukan semua keinginanmu ketika kamu sudah benar-benar siap. Jangan sampai ingin menolong tetapi malah membinasakan diri sendiri”.
Kalimat di atas sangat relevan untuk menggambarkan situasi terkini bangsa kita. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba kita dikejutkan oleh berita media soal pembelian obligasi IMF oleh pemerintah Indonesia sebesar 1 milyar dollar. Wow, angka yang tidak kecil.
Tanpa ada yang bertanya, pemerintah melalui Menko Perekonomian Hatta Rajasa dengan tegas menyatakan bahwa bantuan Rp 9,4 triliun ke IMF itu tidak diambil dari APBN dan tidak akan mengganggu kondisi keuangan negara. Intinya semua aman, tenang saja!.
Hebat bukan Indonesia Raya? Ya, memang luar biasa. Sekarang sudah mulai bisa membantu IMF dengan bantuan yang tidak bisa dibilang kecil. Hebatnya lagi dana bantuan itu akan digunakan untuk membantu negara-negara Eropa yang sedang mengalami krisis keuangan luar biasa.
Dua Sisi Analisa
Apa yang menarik dari berita mengejutkan ini? Saya melihat ada dua sisi yang harus diutamakan untuk mengurai masalah ini. Pertama dari sisi eksternal berupa humanity (kemanusiaan) dan kedua dari sisi internal berupa kepatutan (Kemanusiawiaan).
Pertama, ditinjau dari sisi humanity langkah pemerintah ini terbilang "ok" bahkan bagus dan membanggakan. Bayangkan di tengah situasi dalam negeri yang tidak menentu Indonesia mampu menyumbang IMF sebesar 1 milyar dollar. Angka yang kecil untuk dunia tetapi tidak bagi rakyat Indonesia.
Dengan langkah tersebut maka Indonesia setidaknya tidak kalah pamor dengan Vietnam dan Filipina yang diklaim Hatta Rajasa ikut berkontribusi menyelamatkan ekonomi dunia melalui IMF (Kompas, 12/7/2012/ hlm 17).
Bahkan dengan bangga Ketum PAN itu menyatakan bahwa, “Malah Indonesia sebaiknya bersyukur karena bisa membantu perekonomian global. Jangan picik melihat ini. Mengapa kita harus membantu dunia? Itu karena kita bagian dari dunia,” demikian seperti termaktub dalam Harian Kompas itu.
Sebagai langkah diplomatis internasional langkah ini memang perlu dan tidak layak ditentang. Asalkan sejak awal atau minimal seketika setelah langkah tersebut, pemerintah dengan segera juga melakukan bantuan riil kepada rakyat sendiri sebagaimana kesigapan yang telah ditunjukkan untuk dunia.
Kedua, dari sisi internal atau kemanusiawian. Kemanusiaan yang meninggalkan aspek kemanusiawiaan juga tidak patut. Apa beda kemanusiaan dan kemanusiawiaan? Sederhana saja, menurut saya kemanusiaan mengikuti standar Barat sedangkan kemanusiawiaan itu standar asli Indonesia.
Misalnya, ada seseorang yang membantu korban bencana. Tapi dia menolong itu dengan menjual apa-apa yang dimiliki keluarganya tanpa musyawarah, tanpa pertimbangan, sehingga keluarganya hidup kekurangan bahkan terjadi kelaparan dan kematian. Apakah ini manusiawi?.
Mari kita komparasikan fakta yang ada di negara kita. Membantu IMF bisa memberitahukan dunia bahwa perekonomian Indonesia sehat. Bagus, bukan? Tetapi bagaimana jika semua itu dilakukan pada saat cadangan devisa negeri ini sedang merosot? Ini namanya tidak manusiawi.
Lebih jauh kalau kita tengok negeri ini secara seksama, masih banyak hal yang sifatnya mendesak (strategis) tapi tidak segera terwujud. Padahal perwujudannya akan sangat membantu kemandirian bangsa. Bayangkan, Rp 9,4 triliun akan diserahkan ke IMF. Padahal untuk membuat menorel yang sekitar Rp 1 triliun saja Indonesia tidak mampu.
Bahkan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) yang sangat strategis itu sampai kini masih belum ada titik kejelasan. Padahal, adanya JSS itu akan sangat mungkin menciptakan satu efek positif yang luar biasa bagi bangsa.
Dari sisi ekonomi misalnya, tidak akan ada lagi antrian truk pengangkut barang seperti sekarang. Kemudian perputaran uang antara Jawa dan Sumatera akan semakin cepat dan berimbang, sehingga tercipta kemakmuran di sana-sini.
Dan, secara politik JSS akan sangat memudahkan upaya Pertahanan Negara untuk menjaga keutuhan NKRI. Menariknya jika JSS bisa dibangun, tidak mustahil Jembatan Selat Bali akan bisa diwujudkan pula. Jika itu terwujud, bayangkan seperti apa makmurnya negeri ini.
Oleh karena itu, menurut Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Yogakarta, A Tony Prasetiantono seperti dilansir Harian Kompas (12/7/2012) sebaiknya dana sebesar itu (Rp 9,4 triliun) digunakan untuk membangun infrastruktur yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
Sisi kemanusiawian ini semakin terasa tercabik-cabik tatkala kita mengingat peristiwa April 2012 di mana pemerintah berencana menaikkan harga BBM.
Kala itu, pemerintah beralasan bahwa jika harga BBM tidak dinaikkan Indonesia akan menjadi negara yang bangkrut dan lain sebagainya. Sekalipun tidak jadi naik, akibatnya pun sangat terasa, di Kalimantan krisis BBM sempat meresahkan warga.
Sebagai warga negara biasa, saya sangat menyayangkan sikap pemerintah yang seperti itu. Mungkin pemerintah juga berpikir rasional untuk memajukan bangsa dan negara, tetapi jika ‘tontonan’ yang diberikan kepada rakyat seperti ini, maka tidak sepatutnya pemerintah menutup telinga. Ini suara hati, ini suara keheranan, dan ini suara perhatian, kecintaan dan ketulusan dari rakyatmu, Rakyat Indonesia.
Mungkin situasi akan berbeda jika sejak awal pemerintah memang benar-benar antusias menangani masalah-masalah dalam negeri. Mengapa tidak mengutamakan rakyat sendiri yang dengan itu sinergisitas antara pemerintah dan rakyat dapat berjalan harmonis, sehingga kita bisa menjadi macan baru Asia sebagaimana China dan Korea?.
Rasanya tidak ada yang sulit jika pemerintah punya kemauan kuat untuk memajukan bangsa dan negara ini dengan menjadikan rakyatnya kuat dan mandiri dalam segala bidang kehidupan. Semoga pemerintah memahami aspirasi ini.
Utamakan Rakyat untuk Dunia
Peristiwa ini sungguh sarat dengan pelajaran. Mari kita bersama-sama, bahu-membahu membangun negeri ini dengan ketulusan dan kecintaan. Adalah langkah tidak bijaksana jika pemerintah selalu merasa dirinya paling benar dan rakyat tidak. Justru akan sangat indah jika antara rakyat dan pemerintah saling sinergi dalam membangun bangsa.
Siapa yang tidak bangga jika Indonesia bisa membantu dunia, semua putra-putri Indonesia mendambakan itu semua. Tetapi ada hukum alam yang tidak bisa dikelabuhi apalagi dinegasikan. Bahwa untuk bisa membantu dunia kita harus mampu menjadi bangsa yang mandiri dalam segala sektor kehidupan.
Jadi, sudah selayaknya pemerintah dengan segera merevisi program-program yang belum mengarah pada kesejahteraan dan kemandirian bangsa secara langsung. Lindungilah rakyatmu wahai pemerintah niscaya akan kuat posisimu. Berikan hak mereka niscaya hakmu akan terpenuhi.
Bukankah benih-benih disintegrasi itu sudah bermunculan? Sekiranya mereka merasa aman, nyaman dan sejahtera menjadi bangsa Indonesia, hanya akal yang tidak waras yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Tetapi fakta itu masih ada, mari kita benahi bersama. Utamakan rakyat sendiri jika ingin membantu dunia. Jangan terbalik, membantu dunia dengan mengorbankan rakyat sendiri. Sebab kemajuan bangsa Indonesia itu ada pada manusianya (baca: rakyatnya). Maka cerdaskanlah mereka, sejahterakanlah mereka niscaya Indonesia bisa berbuat untuk dunia. Mari bersama bangun Indonesia.
*Imam Nawawi