“INDONESIA kurang maju karena matematikanya rendah,” demikian ungkap budayawan Sujiwo Tejo dalam presentasinya di Komunitas TEDx Bandung, awal Oktober (9/10) tahun lalu.
Menurutnya matematika itu bukan sekedar masalah hitung menghitung. Tetapi matematika adalah bahasa, sebagaimana bahasa Indonesia, Inggris, Prancis, dan lainnya. “Sebab hanya matematika yang efektif bisa melatih logika manusia konsisten,” demikian imbuhnya.
Sujiwo Tejo ingin memberikan gambaran bahwa bangsa Indonesia ini mengalami krisis multidimensional yang berkepanjangan hingga saat ini karena telah terjadi inkonsistensi dalam berpikir.
Inkonsistensi berpikir di negeri ini akan terlihat jika mengacu pada apa yang menjadi dasar negara yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang pada realitanya sama sekali tidak terlaksana sesuai ketentuan. Budayawan yang sangat geram dengan koruptor itu memberikan satu bukti.
“Indonesia sepakat bahwa, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Tapi kenyataannya kita hanya dapat 1 % dari Freeport,” jelasnya dengan mimik penuh rasa heran.
Dalam beberapa catatan yang lalu juga kita lihat bagaimana Kalimantan Timur yang kaya sumber daya alam juga harus mengalami krisis BBM. Bahkan yang ironi belum satu tahun Jembatan Kutai Kartanegara ambruk, proyek Hambalang yang belum final pun sudah ambles lebih duluan. Ini adalah bukti nyata dari inkonsistensi berpikir di negeri ini.
Pancasila, UUD 1945, atau apapun namanya yang menjadi sumber rujukan kebijakan di negeri ini tak lebih dari jargon belaka. Pancasila dan UUD 1945 belum pernah benar-benar merealita di bumi pertiwi ini. Inilah masalah utama bangsa ini, tidak konsisten dalam berpikir.
Penerapan pasal 34 misalnya, pemerintah hingga hari ini juga belum mampu menjalankannya dengan baik.
Disinilah harus diakui bahwa negara telah banyak dibantu oleh warga negaranya yang berinisiatif dan kreatif membuat lembaga santunan pendidikan, pembinaan anak jalanan, yang pondok pesantren di seluruh Indonesia umumnya mengambil peran besar dalam penerapan Pasal 34 UUD 1945.
Tapi entah mengapa tiba-tiba pesantren yang secara historis lebih tua dari keberadaan Indonesia dan telah terbukti banyak melahirkan kader bangsa yang handal justru sempat ditimpa fitnah sebagai sarang teroris. Sebuah tuduhan yang tidak berdasar akal sehat sama sekali. Tapi inilah fakta, inkonsistensi dalam berpikir.
Sementara Lady Gaga yang jelas-jelas berpotensi merusak mental dan moral anak bangsa justru dibela dan dipuja. Bahkan demi Lady Gaga sesama anak bangsa rela berseteru. Lantas mana mungkin generasi muda kita akan cinta lagu dan budaya nasional jika yang di blow up justru budaya Barat, bangsa yang secara historis sangat sadis menjajah negeri ini, terutama Belanda.
Sebenarnya negeri ini milik siapa, mau ke mana, ke mana Pancasila, ke mana UUD 1945, dan, mohon maaf, ke mana Bapak Presiden ?
Tantangan Bersama
Tidak mudah memang menjadi pemimpin. Tapi lihat saja hari ini bagaimana orang berebut ingin menjabat. Setiap lima tahunan di masing-masing daerah riuh dengan pemilihan kepala daerah. DKI tidak lama lagi pemilihan gubernur begitu pula dengan Kaltim, Sulsel, dan berbagai wilayah lainnya.
Masing-masing kandidat berjanji, A sampai Z. Semua berusaha meyakinkan rakyat agar mau memilihnya. Padahal secara sistem apa yang mereka janjikan adalah sesuatu yang kemungkinan diwujudkannya sangat rendah.
Bayangkan saja, setiap kandidat harus mengeluarkan dana yang tidak kecil. Pada saat yang sama mereka menjadi pasangan kandidat bukan karena integritas tetapi lebih karena faktor elektabilitas kandidat yang dimanfaatkan oleh partai politik untuk bisa meraih kursi kekuasaan. Dengan kursi kekuasaan maka ‘kesejahteraan’ partai akan meningkat dan dipastikan akan bisa memenangkan pemilihan pada periode berikutnya.
Disinilah seorang kepala daerah tidak akan mampu berbuat apa-apa, termasuk seorang presiden sekalipun. Keberhasilannya menjadi pejabat bukan karena murni rakyat memilih tapi karena ada ‘mesin politik’ yang bekerja. Setiap pejabat terpilih harus ‘merawat mesin politik’ yang telah mengantarkannya menjadi pejabat. Itulah mengapa pengamat sering mengatakan bahwa seorang pejabat publik seringkali tersandera oleh kepentingan bagi-bagi kue kekuasaan.
Jadi secara rasio, sistem pemilu yang diselenggarakan di negeri ini sudah tidak memungkinkan seorang kepala daerah atau kepala negara mampu berbuat sesuai hati nuraninya. Ia harus mempertimbangkan kepentingan ‘mesin politik’. Jadi jangan salah, rakyat itu nomor sekian. Kalaupun ada untuk rakyat itu pun remah-remah saja. Singkatnya rakyat bukan prioritas sebagaimana amanah Pancasila dan UUD 1945.
Inilah tantangan bersama generasi muda saat ini. Sudah seharusnya kita beranjak komunitas. Dari komunitas yang hanya menjadi penggemar sepak bola menuju komunitas penggemar ilmu dan karya. Jika tidak maka potensi besar kita sebagai pelanjut perjuangan bangsa akan sirna seketika. Sebab masa muda itu tidak dua kali dan tidak bisa diulangi. Sekali terlewat selamanya menyesal.
Bangun Budaya Berpikir
Tentu kita -generasi muda- harus banyak berbuat bukan banyak berdebat. Apalagi debat soal bola, soal artis, soal apapun yang tidak bernilai pencerahan hati dan akal. Jangan sampai inkonsistensi berpikir masa lalu dan kini terwariskan dalam hidup kita. Kita harus bisa menjadi manusia beradab, yang hidup dan berjuang untuk kemajuan bangsa bukan kepentingan golongan seperti sekarang.
Kita juga tidak boleh berhenti dengan hanya mampu membuka borok bangsa sebagaimana uraian di atas, tetapi juga harus mampu menemukan konsep rekonstruksi bagi bangsa di masa yang akan datang. Bahkan kita dituntut untuk bisa menemukan konsep dan strategi implementasi yang applicable.
Satu cara yang efektif untuk bisa menjadi manusia yang bisa melakukan perubahan adalah dengan cara membangun budaya berpikir. Inkonsistensi berpikir elit negara hari ini karena mereka tidak memiliki budaya berpikir. Mereka hanya mampu berpikir untuk kepentingan diri dan golongannya saja. Bukan untuk bangsa.
Berpikir bagaimana, tentu berpikir yang dilandasi oleh logika iman. Tanpa logika iman seorang manusia akan berpikir liar, seliar Barat yang kini telah mendewakan pikirannya sendiri (Antrophocentrism). Dalam Islam, hanya orang berimanlah yang bisa berpikir (Qs. 10 : 100).
Di sini terjawab mengapa banyak guru besar universitas ternama di Indonesia juga menjadi koruptor. Semua itu tidak lain karena lemahnya logika iman. Dan, berpikir dalam Islam tidak identik dengan gelar akademik. Berpikir dalam Islam identik dengan kesholehan.
Coba lihat bagaimana Nabi Ibrahim ingin menjadi orang yang sholeh (Qs. 26 : 83). Kemudian Nabi Sulaiman sang raja digdaya juga ingin menjadi orang yang sholeh (Qs. 27 : 19). Maka tidak berlebihan bahwa orang berpikir itu adalah orang yang sholeh. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya orang-orang yang sholeh saja yang bisa mewujudkan kehidupan yang adil dan beradab, termasuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jadi sederhananya, membangun tradisi berpikir berarti menempa diri menjadi manusia yang sholeh. Manusia yang tunduk kepada kehendak Allah SWT. Sebagaimana Nabi Muhammad tunduk dan bersungguh-sungguh menjalankan Al-Qur’an. Diakui atau tidak Nabi Muhammad adalah sosok pembawa perubahan. Maka teladanilah segala kehidupan Rasul akhir zaman itu.
Sekiranya pemerintah dan rakyat Indonesia mau berpikir seperti Nabi Muhammad berpikir, tentu aman tentram dan maju jayalah negeri ini. Hari ini memang tidak, semoga ke depan bisa kita wujudkan bersama-sama demi bangsa Indonesia. Bangsa yang memiliki konsistensi berpikir.[KTC]
*Imam Nawawi adalah kolumnis www.kaltimtoday.com dan perintis Kelompok Studi Islam (KSI) Loa Kulu, serta mantan perintis dan ketua Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia (PII), Kutai Kartanegara, Kaltim.