Dapat dipastikan, semua warga Kaltim bangga dengan wilayahnya yang memiliki cadangan sumber daya alam (SDA) melimpah. Namun sayang, mayoritas hanya berhenti pada kebanggaan. Akhirnya warga Kaltim hanya bisa bangga namun tak mampu menikmati. Penduduk Kaltim terpaksa harus menelan ludah karena tak mampu menjadi pemain.
Setiap hari bukit mutiara hitam mengapung di sepanjang aliran sungai Mahakam. Gunung batu bara itu selanjutnya akan dibawa ke luar negeri, untuk memenuhi kebutuhan orang-orang asing. Sementara warga Kaltim terkhusus antara Loa Kulu hingga Loa Janan, setiap hari hanya bisa gigit jari.
Tragis dan sangat ironis, memang. Inilah fakta miris kehidupan di Kaltim. Limpahan kekayaan SDA yang begitu besar tak mampu mendongkrak posisi Kaltim sebagai provinsi paling maju di NKRI. Kondisi ini secara otomatis menggambarkan secara gamblang realitas kehidupan penduduk Kaltim sendiri yang merana di tengah limpahan harta karun. Padahal tak semestinya mereka hidup tertinggal apalagi sengsara.
Pergunakan Akal Sehat
Mari kita pikir secara jernih, mungkinkah di tengah limpahan tambang batu bara yang sangat luas, kita masih kekurangan pasokan listrik? Sementara bayangkan juga, daerah Jakarta dan Surabaya tak pernah mengalami listrik padam. Padahal keduanya tak punya tambang batu bara. Tapi di Kaltim, pemadaman listrik hampir setiap hari terjadi. Ada apa?
Bagaimana dunia usaha akan maju, pendidikan berjalan dengan baik, peralatan elektronik bisa awet, jika PLN di Kaltim tidak mampu memberi layanan maksimal bagi seluruh warganya. Kemana larinya bukit batu bara yang setiap hari mengapung di aliran sungai Mahakam? Masak iya untuk listrik saja tidak bisa!
Sementara itu proses penambangan tak ubanhnya praktik kanibalisme yang berambisi menggasak semuanya. Betapa tidak, keserakahan telah menjadi panglima para pemimpin perusahaan tambang. Tak cukup lahan yang sudah ada, kini kawasan Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto pun ‘diperkosa’ juga.
Kawasan konservasi hutan yang dikelola Universitas Mularwarman Samarinda untuk keperluan pendidikan dan penelitian itu pun harus lenyap demi kepentingan pragmatis para pengusaha. Hutan seluas 40 kali lapangan sepabola itu (sekitar 20.271 hektar) sedang dalam proses penghancuran.
Inilah potret kehidupan di salah satu propinsi kaya di Indonesia. Sementara hasil tambang tak menyentuh aspek riil masyarakat Kaltim. Dalam pada itu, bahaya akibat penambangan sudah sangat jelas mengancam eksistensi kehidupan mereka. Jika demikian apa yang kita dapatkan? Kemana pemerintah? Apa fungsi Undang-Undang 1945? Benarkah negeri ini sudah tergadaikan?
Ancaman Bencana
Mari kita lihat secara cermat. Di tengah eksplorasi tambang secara besar-besaran, yang tentunya menghasilkan banyak keuntungan. Kita bisa saksikan pembangunan SDM, infrastruktur, bahkan kesejahteraan tidak menunjukkan adanya peningkatan.
Sebaliknya, kemiskinan dan kebodohan masih merata dimana-mana. Sementara itu kondisi alam di daerah pertambangan kini sudah sangat ‘amburadul’. Jika tidak diwaspadai, kekayaan yang melimpah justru akan mengundang bencana. Bukan sebatas bencana alam, tetapi juga bencana kemanusiaan bahkan lebih luas lagi bencana kehidupan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan sangat gamblang telah memberi perhatian terhadap pertambangan melalui Fatwa nomor 22 tahun 2011. MUI berpendapat bahwa penambangan yang kelewat batas dan tidak terkendali akan menjadi penyebab utama penyebaran racun dan kerusakan alam.
Tanda-tanda akan peringatan tersebut sudah sangat jelas di hadapan kita. Eksplorasi tambang yang kian hari kian tak terkendali, sangat berpotensi mempercepat usia kehidupan di wilayah Kalimantan Timur. Apalagi nampaknya pemberian izin oleh pemerintah setidaknya dalam penilaian beberapa pihak, sudah terbilang cukup longgar.
Padahal semakin longgar perizinan sama dengan semakin cepat kerusakan terjadi. Setiap kali ada upaya eksplorasi tambang maka pertama yang akan dirusak adalah hutan. Hutan akan ditebangi secara membabi buta.
Tidak cukup menggunduli hutan, penambang akan meledakkan ‘bom’ untuk mempercepat proses eksplorasi. Kemudian proses pengangkutant batu bara dilakukan. Setelah semua usai di angkut, lubang besar menganga dibiarkan menjadi danau baru yang sama sakali tak bermanfaat bagi masyarakat.
Hal ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap kestabilan ekosistem. Dan, pasti, secara ekonomis, bagi kawasan yang masyarakatnya masih memiliki ketergantungan terhadap hutan, akan menimbulkan problem kemanusiaan yang lebih kompleks. Apabila hal ini terus-menerus terjadi dan meluas di hampir seluruh wilayah Kaltim, yakinlah tak ada kebahagiaan untuk anak cucu kita di masa yang akan datang.
Padahal pengerusakan lahan tersebut tidak sedikit pun memberikan keuntungan bagi masyarakat Kaltim. Hasil tambang sepenuhnya dinikmati oleh kaum elit, aparat pemerintah, dan tentunya pemilik modal dari luar negeri. Sungguh, sekali proses penambangan dilakukan, bukan saja alam yang rusak berantakan, warga sekitar pun diselimuti oleh berbagai kesulitan dan kesengsaraan.
Sekedar contoh, di kawasan pertambangan PT Kitadin di Kutai Kartanegara. Cukup banyak danau baru yang kehadirannya justru tidak diharapkan dan sangat sulit untuk dilakukan reklamasi.
Banjir pun mengancam setiap tahunnya. Bahkan diprediksi akan muncul juga masalah lingkungan lain yang mau tidak mau harus dihadapi. Salah satunya adalah lubang beracun bekas galian yang tersebar cukup luas. Di Kutai Kartanegara saja sedikitnya ada 31 lubang dan bongkaran tanah yang ditinggalkan tanpa reklamasi. Luasnya mencapai 838 hektar (Tempointeraktif.com, 1/9/2011).
Kerusakan di sektor lain ialah jalanan umum. Hal ini terjadi karena beban truk angkutan batubara melebihi kapasitas. Jalan yang hanya mampu menahan beban 1 ton dilewati mobil tambang 16 ton setiap hari sepanjang tahun. Anda bisa bayangkan sendiri akibatnya.
Selain itu, masyarakat setempat juga menghadapi persoalan penggusuran dan penyusutan lahan pertanian. Dinas Pertanian Kalimantan Timur mencatat setiap tahun rata-rata 12 ribu lahan pertanian dikonversi menjadi tambang.
Pada saat yang sama krisis energi juga mengancam. Padahal hasil tambang sangat sedikit berkontribusi kepada masyarakat. Hingga saat ini hanya 35 desa dari 137 desa di Kutai Timur yang bisa tersuplai listrik dengan normal.
Jadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, tambang adalah surga bagi pengusaha dan neraka bagi rakyat jelata.
Jika ingin bukti, silakan lakukan investigasi pada masyarakat Kutai Kartanegara sepanjang aliran Mahakam mulai dari Loa Kulu hingga Loa Janan tatkala mereka melihat perahu pontoon membawa bukit-bukit batu bara.
Apa anda merasakan manfaat dari pengangkutan bukit batu bara itu? Pasti mereka akan menjawab dengan hanya menggelengkan kepalanya.
Pemanfaatan Tambang
Undang Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 secara tegas menyatakan bahwa; (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikianlah amanat Undang-Undang Dasar Negara 1945. Namun praktiknya, Pasal 33 itu sama sekali tak bergigi. Entah apa yang terjadi seorang gubernur pun ternyata tak mampu berbuat banyak.
Seperti dilaporkan Kompas (5/2/2010) bahwa Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak, mengadukan tentang ironi pemanfaatan sumber daya alam (SDA) provinsi saat Rapat Dengar Pendapat Badan Anggaran DPR.
Gubernur mencontohkan, bagaimana sebuah perusahaan tambang batubara di wilayahnya setiap tahunnya dapat menghasilkan batubara sebanyak 45 juta ton, tetapi pemasaran hasilnya hanya 5% untuk kebutuhan dalam negeri sedangkan 95% ditujukan untuk ekspor.
Kondisi terbalik berhasil dilakukan oleh China. Sebagai produsen batubara terbesar dunia, Negara Tirai Bambu itu mengalokasikan 98,3% batubaranya untuk kepentingan dalam negeri dan hanya 1,7% yang diekspor. Padahal jumlah produksinya lebih dari 11 kali produksi batubara Indonesia.
Faktanya cukup mengejutkan, perekonomian China meningkat secara drastis. Produk-produk China datang ke Indonesia bak banjir bandang. Peningkatan SDM pun terbilang sangat pesat perkembangannya. Bahkan cukup merepotkan pasar Asia Tenggara. Sementara setiap tahunnya Indonesia terus ‘melempar’ mutiara hitamnya ke luar negeri.
Di sinilah pemuda, mahasiswa, dan masyarakat Kaltim harus mengambil sikap. Ambillah hak Anda semua sebagai pewaris Bumi Kaltim. Tambang itu untuk anda bukan untuk orang asing. Bayangkan Anda punya batu bara, tapi Anda tak bisa menikmati listrik non-stop 24 jam seperti Jakarta yang tak punya tambang seperti Kaltim.
Mungkin Pemprov atau Pemda memberi kita beasiswa. Tetapi yakinlah, kalau tambang itu dikelola sendiri, sepenuhnya didedikasikan untuk rakyat, bukan sekedar beasiswa yang akan kita terima. Membuat perguruan tinggi bertaraf internasional pun bukan impian. Kaltim PASTI MAMPU karena Kaltim punya sesuatu yang Daerah Lain tak memilikinya.
Tetapi karena salah urus, salah kelola, keuntungan besar itu justru diambil alih oleh asing atau Barat. Merekalah yang paling menikmati hasil tambang bumi Kaltim ini. Barat memang suka membodohi penduduk negara-negara berkembang.
Dengan kecanggihan teknologinya mereka berhasil menjadikan pemerintah kita sebagai bonekanya. Selain itu oknum pejabat terkadang lebih rela hidup mewah dengan menjadi antek Barat daripada hidup kaya dan terhormat karena membela hak rakyat.
Sungguh tak bisa dinalar akal sehat, provinsi besar dengan tambang besar kehidupan masyarakatnya masih kalah dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Kemana hasil tambang itu lari? Kejarlah wahai pemuda Kaltim, sebelum semua benar-benar mengubur kita hidup-hidup.[]
*Penulis adalah kolumnis tetap www.kaltimtoday.com dan mantan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PD PII) Kutai Kartanegara, Kaltim